Oleh: Ahmad Fathullah
Di tengah geliat reformasi pendidikan yang terus digulirkan pemerintah, kita dihadapkan pada satu ironi besar: sekolah sebagai pusat pembelajaran justru terjebak dalam jerat regulasi dan administrasi yang kian memberatkan. Alih-alih fokus pada proses pembelajaran yang mendidik dan memanusiakan, para guru dan kepala sekolah kini sibuk memenuhi tumpukan laporan, aplikasi digital yang rumit, dan evaluasi yang sering kali tak relevan dengan realitas di lapangan.
Kebijakan pendidikan yang mestinya menjadi payung kemajuan malah menjelma menjadi beban. Mulai dari sistem akreditasi yang terlalu teknis, kurikulum yang berganti tanpa kesiapan memadai, hingga proyek digitalisasi yang lebih menguntungkan vendor daripada murid. Akibatnya, substansi pendidikan kian memudar, digantikan oleh formalitas dan angka-angka yang dipaksakan.
Guru Bukan Pegawai Administrasi
Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi. Sayangnya, realitas di sekolah menunjukkan hal sebaliknya. Banyak guru kini lebih disibukkan oleh pengisian dokumen, entri data ke aplikasi-aplikasi daring seperti Dapodik, ARKAS, dan e-RKAS, yang terus dimutakhirkan tanpa pelatihan memadai.
Satu kebijakan baik sering kali dibarengi sepuluh instruksi teknis yang membingungkan. Guru yang sejatinya harus menjadi fasilitator pembelajaran justru merasa dirinya seperti operator komputer. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya harus “lembur” hingga malam hanya untuk menyelesaikan laporan keuangan BOS atau evaluasi rapor mutu.
Fenomena ini bukan hanya menyita waktu, tetapi juga merenggut energi psikologis para pendidik. Rasa jenuh, stres, hingga burnout menjadi keluhan yang kerap muncul. Ironisnya, dalam penilaian kinerja, variabel administratif ini justru menjadi tolak ukur dominan, bukan kualitas mengajar.
Kurikulum: Antara Visi dan Aplikasi
Perubahan kurikulum sejatinya adalah hal wajar dalam dinamika pendidikan. Namun ketika perubahan dilakukan terlalu sering dan tidak disertai kesiapan sistemik, maka hasilnya adalah kebingungan massal. Kurikulum Merdeka misalnya, membawa semangat baik: pembelajaran berdiferensiasi, penguatan karakter, dan asesmen yang lebih humanis. Namun dalam pelaksanaannya, banyak sekolah yang justru gamang.
Ketiadaan pelatihan yang menyeluruh, materi ajar yang belum merata, dan indikator capaian yang berubah-ubah membuat banyak guru kesulitan mengadaptasi. Di sisi lain, pemerintah terus mendorong “implementasi cepat” sebagai indikator keberhasilan, tanpa mempertimbangkan kesiapan daerah terpencil, infrastruktur minim, atau latar belakang sekolah swasta kecil.
Alih-alih merdeka, banyak guru justru merasa tertekan oleh tuntutan kurikulum baru. Mereka yang tak mampu menyesuaikan akhirnya dianggap “gagal bertransformasi,” padahal problemnya bukan pada individu, melainkan sistem yang setengah matang.
Proyek Digitalisasi: Kemajuan atau Komersialisasi?
Satu lagi kebijakan yang layak dikritisi adalah proyek digitalisasi pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat masifnya pengadaan Chromebook, aplikasi pembelajaran daring, hingga sistem rapor digital. Pemerintah menggelontorkan triliunan rupiah untuk “menyambut era pendidikan 4.0.” Namun pertanyaannya: seberapa efektifkah teknologi ini dalam meningkatkan mutu pembelajaran?
Di banyak sekolah negeri maupun swasta, alat-alat digital tersebut hanya menjadi “pajangan.” Kurangnya pelatihan, ketidaksesuaian dengan kebutuhan, dan kendala jaringan membuat teknologi itu tidak dimanfaatkan secara optimal. Bahkan dalam beberapa kasus, pihak sekolah dipaksa membeli perangkat tertentu dari vendor yang ditunjuk, menambah beban keuangan lembaga.
Yang lebih menyedihkan, proyek digital ini kerap mengesampingkan aspek kemanusiaan dalam pendidikan. Interaksi guru dan murid digantikan oleh klik dan notifikasi. Pendidikan yang sejatinya membentuk karakter, empati, dan nilai-nilai hidup kini bergeser ke layar tanpa sentuhan batin.
Saatnya Meninjau Ulang Arah Kebijakan
Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan membebani. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan perlu mengubah paradigma dari kontrol teknis ke fasilitasi substansial. Evaluasi berbasis kepercayaan, penyederhanaan laporan, serta pelibatan guru dalam setiap penyusunan kebijakan adalah langkah awal yang penting.
Kita juga butuh kebijakan yang membumi, bukan sekadar meniru model luar negeri atau mengejar indikator internasional. Pendidikan Indonesia harus dibangun berdasarkan kebutuhan lokal, realitas sosial, dan kearifan budaya bangsa. Tak semua inovasi digital cocok diterapkan di pelosok desa. Tak semua kurikulum barat cocok untuk anak-anak kita yang hidup di lingkungan religius atau komunitas tradisional.
Yang dibutuhkan kini bukan lagi kebijakan baru, tetapi kemauan untuk mendengarkan suara guru, kepala sekolah, dan komunitas pendidikan yang selama ini berada di garda terdepan. Bukan dari balik meja birokrasi, tetapi dari ruang kelas yang riuh oleh semangat belajar.
Penutup: Pendidikan Adalah Tentang Manusia
Akhirnya, kita harus kembali pada esensi pendidikan: membentuk manusia yang utuh. Segala kebijakan, program, dan inovasi yang tidak berpihak pada guru dan peserta didik hanyalah formalitas kosong. Maka dari itu, mari kita dorong perubahan kebijakan pendidikan yang lebih transformatif, demokratis, dan memanusiakan.
Karena pendidikan sejati bukan tentang angka dan laporan. Ia adalah proses peradaban, tempat lahirnya generasi yang berpikir merdeka, berhati nurani, dan siap membangun masa depan dengan integritas.