oleh Ahmad Fathullah, M.Pd

Pada musim peralihan tahun baru Islam kali ini, umat Muslim di Indonesia dihadapkan pada pilihan penanggalan Hijriyah yang berbeda pemerintah dan NU menggunakan tanggal 1 Muharram pada Jumat, 27 Juni 2025, sementara Muhammadiyah lebih awal sehari, yakni Kamis, 26 Juni 2025, berdasarkan KHGT  . Karena perbedaan ini, puasa Tasu’a (9 Muharram) jatuh pada Jumat, 4 Juli 2025, dan puasa Asyura (10 Muharram) pada Sabtu, 5 Juli 2025 dalam versi Muhammadiyah .

Penetapan ini bukan sekadar pertengkaran angka tanggal tetapi merentang ke lebih dalam, tentang identitas, ritual spiritual, keilmuan hisab, dan kesepahaman komunitas. Melalui lensa ini, mari kita telaah sejuta rasa, harapan, dan pemaknaan dari ibadah dua hari yang amat dekat dengan hari pertama Hijriyah ini.

Mengapa Kalimat 1 Muharram Beragam?

Mengawali opini ini, penting menjelaskan mengapa penanggalan Hijriyah bisa berbeda. Muhammadiyah melalui KHGT telah memilih menggunakan metode hisab wujudul hilal global, yang memprediksi keberadaan hilal sebagai penentu awal bulan, sedangkan pemerintah (Kemenag) dan NU tetap mengacu pada hisab imkan rukyat lokal dan rukyatul hilal.

Akibatnya, saat sebagian memulai tahun barunya pada 26 Juni, sebagian lain menunggu hingga 27 Juni. Secara ritual tradisional berbasis hisab, Muhammadiyah memaknai perbedaan ini bukan sebagai kesalahan, tetapi kekayaan metode ilmiah sebuah dialog produktif antara warisan syariah klasik dan semangat global zaman sekarang.

Bagi saya, hal ini mengajarkan bahwa keislaman kita tidak statis, tapi dinamis dan menjunjung tinggi pemikiran. Perbedaan bukan jurang, tetapi kesempatan belajar satu bagian dari perjalanan memahami rahasia alam semesta dari sudut hisab dan rukyat.

Tasu’a dan Asyura: Sibuk Kurang Introspeksi

Di tengah gema perdebatan puasa 9 dan 10 Muharram, saya menyadari ada yang hilang: momentum spiritualnya. Banyak orang terjebak pada hitung-hitungan tanggal, hingga lupa pada hakekatnya: dua hari yang diganjari pahala menghapus dosa satu tahun itu adalah sarana untuk syukur, introspeksi, dan klarifikasi spiritual.

Agaknya sekarang, dimensi ini mulai terlupakan. Kita sibuk mempersiapkan libur, membahas sah tidaknya tanggal, dan lalu melanjutkan aktivitas harian tanpa benar-benar menyentuh makna batinnya. Padahal, puasa ini ringan dua hari tapi bisa menghasilkan perubahan besar jika diniatkan dan dijalankan dengan kesungguhan hati.

Sejarah Nabi Musa: Mengalir Inspirasi Toleransi

Puasa Asyura memiliki akar sejarah yang mulia: kisah Nabi Musa as. yang mendapat keselamatan dari gangguan Firaun di Laut Merah. Dengan puasa di hari itu, kita meneladani rasa syukur atas keadilan Tuhan  .

Tentu keistimewaan puasa ini bukan hanya ritual simbolik ada pelajaran besar di dalamnya:
1. Keberanian memperjuangkan keadilan, sebagaimana Nabi Musa.
2. Hikmah Allah yang sempurna, memberikan jalan keluar di saat sempit.
3. Rasa syukur yang ditunjukkan lewat tindakan nyata puasa.

Saya percaya, momen ini perlu dijadikan ajang spirit keberagamaan yang inklusif dan mengajak. Bukan sekadar puasa sendiri, tapi mengundang orang lain refleksi bersama. Membangun kesadaran kolektif atas toleransi dan keadilan.

Tasu’a: Menjembatani Spirit Perbedaan

Sebelum Asyura, terdapat Tasu’a puasa tanggal 9 Muharram. Nabi Muhammad saw. sempat mengekspresikan keinginannya untuk menjalankan kedua hari tersebut, sebagai tanda pembedaan dari Yahudi yang hanya berpuasa Asyura  .

Islam mengajarkan berbeda bukan berarti membenci, tapi mempertegas identitas personal. Di dunia modern yang global, kita perlu menggunakan Tasu’a sebagai pengingat keterikatan spiritual bisa berbeda metodologi (hisab, rukyat), tapi sesungguhnya menuju satu tujuan dekat pada Allah.

Puasa Tasu’a pun menjadi tanda inklusif yang memisahkan antara ritual lapisan luar dan niat batin universal.

Puasa = Detox Spiritual dan Pragmatis

Ada yang bilang puasa seperti detox digital kembali ke kepala, menenangkan emosi, mengolah kesadaran. Betapa tidak? Dalam dua hari, kita mengurangi asupan lahir, fokus menegakan ibadah, dan mengendalikan diri dari nafsu.

Puasa ini ringkas, tapi bisa membawa efek: Kesadaran emosional meningkat, Kestabilan mental membaik, Efektivitas ibadah harian meningkat karena fokus, Ibadah bersama jadi momentum kebersamaan

Saya berharap, jika dua hari puasa ini dimaknai sebagai momentum rekalibrasi spiritual, bukan beban tambahan, maka efeknya bisa jauh lebih luas.

Implementasi dalam Kehidupan Sehari-hari

Bagaimana seseorang bisa membawa hikmah Tasu’a-Asyura ke kesehariannya?

1. Bangun pagi untuk shalat duha & dhuha-qunut di awal Muharram
2. Sisihkan waktu khusus di sela kerja untuk dzikir, tilawah Surat Yasin, atau surat Musa
3. Berbagi, misalnya menu berbuka, sedekah ke fakir miskin, anak yatim
4. Dialog spiritual keluarga, menggali hikmah dan kisah Nabi Musa serta Rasulullah saw.
5. Refleksi profesional: bagaimana prinsip keadilan Nabi Musa bisa digunakan dalam keputusan kerja, budaya perusahaan, atau etika bisnis

Jika kita memulai tahun baru dengan intensi menyeluruh—personal, sosial, emosional—bukan sekadar tanggal, maka momentum ini benar-benar transformatif.

Merangkul Generasi Milenial & Gen Z

Kita harus kreatif, terutama untuk generasi muda mereka hidup di era viral, media sosial, dan butuh bahasa yang resonate. Saya mendorong Infografis dramatis tentang Tasu’a Asyura vs kisah Nabi Musa, Thread Twitter/Instagram dengan caption singkat bernuansa reflektif, Video TikTok / Reel pendek, menampilkan niat puasa dan kesederhanaan berbuka, Diskusi Zoom di masjid/komunitas tentang perbedaan hisab dan rukyat

Sebagai pembuat konten, kita bisa mengisi dengan tanda tangan dan nama kita (misalnya: Opini oleh si A), sehingga kedalaman ini tercermin dari identitas persona intelektual publik.

Menguatkan Nuansa Taubat dan Resolusi Spiritual

Tahun baru Hijriyah adalah momen refleksi seperti pergantian kalender Masehi, tapi lebih kaya nilai spiritual. Tasu’a dan Asyura bisa dipandang seperti hari “rehat rohani” jeda sejenak dari kesibukan hidup, sambil meneguhkan niat dan wawasan bahwa kita adalah khalifah yang punya tanggung jawab.

Dalam dua hari, mari: kita evaluasi resolusi setahun sebelumnya apa yang sudah dicapai? apa yang belum?
Rencanakan target spiritual seperti baca Al-Qur’an minimal satu juz per minggu? sedekah rutin? komunikasi baik dengan orang tua?
Tuliskan keinginan batin seperti: “Saya ingin lebih sabar, lebih adil, lebih pemaaf.”
Puasa ini seperti reset tombol spiritual simple tapi mendalam.

Membangun Jaringan Spiritual Komunitas, Masjid, Keluarga

Dialog komunitas sangat penting di momen ini. Ayok kita ajak Masjid setempat membuat tausiyah ringan di malam Tasu’a dan Asyura

Komunitas membuat ritual praktis seperti buka bersama sederhana, sedekah, dan qiyamul lail singkat

Diskusi kecil untuk membahas pikir rakyat vs manfaat puasa dua hari

Tujuannya agar Tasu’a dan Asyura tidak dipandang seremonial, tapi sesuatu yang kita lalui bersama sebagai keluarga besar umat Islam lintas metode penanggalan.

Tasu’a–Asyura sebagai Tonggak Kesadaran

Puasa Tasu’a dan Asyura lebih dari sekadar ibadah sunnah yang dibolehkan memusnahkan dosa satu tahun merupakan tonggak kesadaran. Ia meneguhkan komitmen spiritual, menyuntikkan kesadaran sosial, dan membentuk diri kita sebagai khalifah yang bertanggung jawab.

Dalam dua hari. Kita merangkai ulang niat agar hidup ini bermakna. Kita menyelaraskan diri dengan jejak para nabi Musa dan Muhammad saw.
Kita membangun inisiatif rohani dan sosial. Lalu, melangkah ke tahun baru dengan peta lebih jelas siapa kita, ke mana kita menyasar, dan bagaimana kita akan berjalan.

Aksi yang Real dan Bermakna
Sebagai penutup, saya menekankan kepada kita semua agar jangan biarkan momen ini hanya jadi tanggal merah di kalender. Jadikan dua hari ini sebagai Awal resolusi spiritual, Pusat refleksi personal dan sosial, Ekspresi syukur atas karunia Allah, Pelecut komitmen untuk keadilan, kasih sayang, dan kesabaran

Puasa ini ringan, tetapi esensinya berat. Dan sesungguhnya, awalan yang ringan bisa melahirkan beban peradaban yang ringan bagi diri kita, lingkungan, dan umat.