Ahmad Fathullah, M.Pd
Guru dan Relawan Sosial – Surabaya
Pendahuluan
Pancasila bukan sekadar dasar negara, melainkan jati diri bangsa Indonesia yang menyatukan keragaman etnis, budaya, dan agama. Di tengah derasnya arus globalisasi dan transformasi digital, nilai-nilai Pancasila menghadapi tantangan serius—terutama di kalangan generasi muda. Seruan Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya pada Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2025, menjadi pengingat bahwa generasi muda harus menjadi motor penggerak pengamalan Pancasila di kehidupan nyata, bukan hanya dalam hafalan dan simbol.
Tantangan Ideologis Generasi Muda
1. Krisis Keteladanan dan Individualisme Digital
Perkembangan media sosial dan budaya digital telah menciptakan generasi yang sangat visual, cepat, dan praktis. Namun, di sisi lain, ini melahirkan kecenderungan instan, narsistik, bahkan apatis terhadap masalah sosial. Nilai gotong royong dan kepedulian yang menjadi roh Pancasila perlahan tergeser oleh budaya “aku duluan”.
2. Radikalisme dan Polarisasi Sosial
Di dunia maya, persebaran informasi tak terkendali membuat generasi muda rentan terpapar paham-paham intoleran dan ekstrem. Keberagaman yang seharusnya menjadi kekuatan malah dijadikan alat untuk membelah. Ini menjadi ancaman nyata terhadap sila ketiga: Persatuan Indonesia.
3. Pragmatisme dan Ketidakpercayaan terhadap Institusi
Sebagian generasi muda mulai mempertanyakan kejujuran pemerintah, hukum, bahkan pendidikan. Ketika keadilan sosial sulit ditemukan dalam praktik, mereka bisa menjadi sinis terhadap Pancasila sebagai ideologi negara.
Menghidupkan Kembali Pancasila: Jalan Strategis
1. Revitalisasi Pendidikan Pancasila
Pendidikan Pancasila harus kembali didekati secara humanis dan aplikatif. Bukan sekadar hafalan sila dan sejarahnya, melainkan dengan studi kasus, simulasi konflik, dan proyek sosial yang menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial.
2. Digitalisasi Nilai-nilai Pancasila
Generasi muda hidup di ruang digital. Maka, konten-konten edukatif yang membumi—seperti animasi pendek, podcast kebangsaan, atau serial mini di media sosial—harus diciptakan dan dikembangkan. Nilai-nilai Pancasila harus hidup dalam dunia yang mereka tinggali.
3. Gerakan Sosial Berbasis Nilai
Gerakan seperti bank sampah, relawan bencana, kelas literasi anak marginal, atau komunitas inklusi dapat menjadi sarana aktualisasi nilai Pancasila. Ini sekaligus membangun karakter sosial, empati, dan solidaritas—hal-hal yang kini makin langka.
4. Pemuda sebagai Aktor Perubahan
Presiden Prabowo dalam pesannya menyebut, “Pemuda jangan hanya bangga menjadi generasi emas karena usia atau jumlah, tapi karena karya dan kontribusi.” Kalimat ini mengandung makna bahwa generasi muda harus menjadi subjek aktif pembangunan, bukan objek pasif yang menanti perintah.
Menuju Indonesia Emas 2045: Pancasila sebagai Fondasi
Visi Indonesia Emas 2045 menargetkan Indonesia menjadi negara berdaulat, adil, makmur, dan berdaya saing global. Untuk mencapainya, diperlukan generasi muda yang tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga tangguh secara moral. Pancasila adalah jembatan menuju masa depan itu—bukan sekadar warisan, tapi bekal utama.
Tanpa pengamalan Pancasila secara utuh, Indonesia mungkin akan tumbuh secara ekonomi, tapi rapuh secara sosial dan ideologis. Maka, masa depan Indonesia sangat tergantung pada sejauh mana generasi mudanya menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup.
Penutup
Peringatan Hari Lahir Pancasila tidak cukup dirayakan dengan upacara seremonial. Ia harus menjadi titik tolak refleksi mendalam: apakah Pancasila masih hidup dalam keseharian kita, atau hanya tinggal dalam pidato dan spanduk? Generasi muda harus tampil sebagai penjaga nilai, pembawa perubahan, dan pemilik masa depan bangsa.
Membumikan Pancasila di era digital dan global adalah tantangan, tapi juga kesempatan emas. Dan itu dimulai dari satu pertanyaan: “Apa yang sudah aku lakukan hari ini agar Pancasila tak sekadar dihafal, tapi dirasakan?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *