Oleh: Ahmad Fathullah, M.Pd
Kepala LKSA Muhammadiyah Semampir | Bidang Dakwah PCPM Semampir
Ketika istilah political will seringkali diasosiasikan dengan negara atau elit pemerintahan, kita lupa bahwa organisasi masyarakat sipil seperti Muhammadiyah pun memiliki peran strategis dalam membentuk kehendak kolektif untuk perubahan sosial. Political will bukan sekadar tentang kekuasaan, melainkan tentang keberanian moral untuk bertindak demi kemaslahatan umat, meskipun harus menempuh jalan panjang dan berliku.
Muhammadiyah, sebagai gerakan Islam modernis yang telah berkiprah lebih dari satu abad, bukan hanya hadir sebagai penjaga akidah, tetapi juga sebagai penggerak amal sosial yang nyata. Inilah yang menunjukkan bahwa Muhammadiyah memiliki political will kuat dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan sosial, kemanusiaan, dan kesejahteraan umat.
Salah satu wujud paling nyata dari political will Muhammadiyah adalah komitmennya dalam pengasuhan anak-anak terlantar melalui pendirian dan pengelolaan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). Di seluruh Indonesia, ratusan panti asuhan Muhammadiyah berdiri dengan semangat melayani tanpa pamrih. Di balik keterbatasan dana dan sumber daya, LKSA seperti Muhammadiyah Semampir tetap berusaha memenuhi hak-hak dasar anak—mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga kasih sayang. Ini bukan sekadar amal, tapi adalah bentuk keberanian sosial.
Contoh lain dari political will Muhammadiyah adalah gerakan pendidikan inklusif. Melalui Majelis Dikdasmen dan Lembaga Pendidikan ‘Aisyiyah, Muhammadiyah membuka ruang bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama di sekolah umum. Banyak sekolah Muhammadiyah kini sudah memiliki unit layanan inklusi, ruang terapi, dan guru pendamping khusus. Di saat banyak lembaga masih abai, Muhammadiyah mengambil posisi sebagai pelopor. Ini bukan hal yang mudah dan pasti menghadapi tantangan teknis dan kultural, tetapi Muhammadiyah menunjukkan kesungguhan untuk menjawabnya.
Dalam konteks kebencanaan, Muhammadiyah juga tampil progresif. Melalui Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), organisasi ini hadir cepat dan tanggap di wilayah terdampak bencana—dari Palu hingga Lumajang. Ini adalah political will berbasis nilai Islam, yang mendorong setiap relawan untuk tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga secara spiritual dan emosional bagi korban bencana.
Di bidang kesehatan, rumah sakit Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (RSMA) menjadi ujung tombak layanan publik, terutama di daerah yang luput dari perhatian negara. Di masa pandemi COVID-19, RSMA tidak hanya merawat pasien, tetapi juga menjadi pusat edukasi dan vaksinasi. Ini mencerminkan political will organisasi dalam menempatkan kesehatan masyarakat sebagai prioritas jihad kemanusiaan.
Dari semua itu, kita melihat bahwa Muhammadiyah tidak hanya mengandalkan suara dalam forum atau pernyataan retoris. Muhammadiyah bekerja—dengan sistem, dengan sumber daya sendiri, dan dengan napas keikhlasan yang panjang. Inilah bentuk sejati dari political will: kemauan untuk hadir, bertindak, dan berkorban demi nilai-nilai besar.
Di tengah zaman yang serba pragmatis, ketika banyak organisasi hanya bergerak jika ada proyek atau insentif politik, Muhammadiyah membuktikan diri sebagai gerakan dengan kehendak politik yang berakar pada nilai, bukan pada kalkulasi keuntungan. Maka jika ada yang bertanya, “Apakah Muhammadiyah memiliki political will?” Jawabannya: bukan hanya memiliki, tetapi menjadikannya sebagai bagian dari denyut nadi gerakan sejak awal kelahirannya.
Kini, tantangan ke depan adalah bagaimana kita sebagai kader, simpatisan, dan bagian dari umat bisa menjaga nyala political will ini. Bukan hanya di tingkat pimpinan pusat, tetapi hingga ke akar rumput. Karena dalam Muhammadiyah, kehendak politik bukanlah milik elit, tapi warisan kolektif seluruh anggotanya untuk terus bergerak, memberi, dan melayani.